Pagi ini (12/11) saya membaca sebuah status update teman di dinding akun facebook saya, yang isinya sebuah pertanyaan: “Jatuh Cinta atau Belajar untuk Mencintai?” Spontan saya memberikan komentar, “manajemen cinta.” Biasanya kita menemukan di cerita-cerita, baik dari novel, sinetron, film layar lebar, dan lain sebagainya, sepasang insan yang “jatuh cinta.” Kata yang digunakan adalah “jatuh” yang menggambarkan keadaan yang di luar kontrol atau bukan suatu kesadaran. Sebaliknya di status FB teman saya tersebut dikatakan “belajar untuk mencintai,” yang menggambarkan suatu proses sadar yang disertai usaha untuk mencapai perasaan yang disebut cinta. Kemudian saya juga membawa apa yang saya sebut “manajemen cinta,” yang tidak hanya menggambarkan proses sadar untuk mencapai cinta, namun lebih dari itu tentang bagaimana perasaan “cinta” itu bisa dikelola dengan prinsip dasar manajemen, yaitu POLC (Planning, Organizing, Leading, Controlling).
Ketika seseorang membicarakan cinta, pada umumnya mereka akan merunut kepada perasaan “sangat suka” terhadap suatu objek, yang seringkali adalah sesosok lawan jenis. Dalam bahasa Indonesia, kita menggunakan kata “cinta” untuk berbagai konteks, termasuk “cinta monyet,” “cinta orang tua,” “cinta sesama,” “cinta dunia,” “cinta harta,” dan lain sebagainya. Dalam bahasa Inggris dikenal istilah infatuation dan dalam dunia psikologi dikenal yang namanya limerence. Kita tidak akan banyak membahas tentang dua istilah tersebut untuk saat ini, dan akan membahas manajemen “cinta” dalam konteks perasaan tertarik, intim, dan komitmen dengan lawan jenis. Dalam teori segitiga cinta, ini yang dinamakan consummate love. Baca lebih lanjut →